Friday, May 24, 2013

KHALWATIYAH



TAREKAT KHALWATIYAH

                   I.            PENDAHULUAN
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain pengalaman syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau “Al- Amal”. Sehingga tarekat adalah suatu metode atau cara yang harus ditempuh seorang salik (orang yang menempuh kehidupan sufistik), dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat membeersihkan diri kepada Allah swt.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai tarekat khalwatiyah. Tarekat khalwatiyah merupakan salah satu dari berbagai macam tarekat yang ada. Tarekat Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang berkembang di Mesir. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Untuk lebih jelaskan mengenai tarekat khalwatiyah kami akan membahas mengenai asal tarekat khalwatiyah, sejarah perkembangan tarekat khalwatiyah, dan ajaran dan dzikir dari tarekat khalwatiyah.

                II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana asal mula tarekat khalwatiyah?
B.     Bagaimana sejarah perkembangan tarekat khalwatiyah di Indonesia?
C.     Bagaimana ajaran dan dzikir dari tarekat khalwatiyah?









             III.            PEMBAHASAN
A.    Asal mula munculnya ilmu tarekat
Tarekat Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang berkembang di Mesir. Pada umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jilani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyabandi. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
Tarekat Khalwatiyah dibawa ke Mesir oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).[1]

B.     Sejarah tarekat khalawatiyah di Indonesia
Tarekat khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, atau tempat-tempat lain dimana suku itu berada seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.
Nama khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk terhadap Muhammad Nur Al Khalwati Al Khawarizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang masih dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Pengikut kedua cabang tarekat ini secara keseluruhan mencakup 5% dari penduduk provinsi yang berumur diatas 15 tahun, pengikut yang berada di Maros mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut.
Tarekat Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada nama Syaikh Yusuf Al Makassari dan Tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18 Muhammad Al Samman. Kedua cabang tarekat ini muncul sebagai tarekat yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri sendiri, tidak terdapat banyak kesamaan selain kesamaan nama. Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan, organisasi, dan komposisi sosial pengikutnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf dalam berdzikir mewiridkan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainnya secara sirr dalam hati, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Samman melakukan dzikir dan wiridnya dengan suara keras dan ekstatik.
Tarekat Khalwatiyah Samman sangat terpusat, semua gurunya tunduk kepada pimpinan puat di Maros, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat. Cabang-cabang lokal Tarekat Khalwatiyah Samman sering kali memiliki tempat ibadah sendiri (musholla, langgar) dan cenderung mengisolasi diri dari pengikut Tarekat lain, sementara pengikut Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai tempat ibadah khusus dan bebas bercampur dengan masyarakat yang tidak menjadi anggota Tarekat.
Anggota Tarekat Khalwatiyah Yusuf banyak berasal dari kalangan bangsawan Makassar termasuk penguasa kerjaan Gowa terakhir Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul Qadir Aidid (berkuasa 1940-1960). Tarekat Khalwatiyah Samman lebih merakyat baik dalam hal gaya maupun komposisi sosial, sebagian besar pengikutnya orang desa.[2]


C.    Ajaran dan dzikir tarekat khalawatiyah
Di dalam kitab karangan Sa’id ‘Aidrus Al-Habasyi “‘Uqudul  la’al fi Asanidir Rijal” (Kairo, 1961) dari Al-Hafnawi Asy-Syafi’i, begitu pula  Ali-Wina’i, sehingga mereka diberi persalin khirqah dari gurunya. Demikian itu ialah karena “sir dan suluk dari Syeikh Qasim al-Khalawati” sangat sederhana dalam pelaksanaanya, untuk  membawa  tingkat yang rendah kepada tingkat yang sempurna melalui tujuh gelombang, yang disebut martabat tujuh dari jiwa itu.[3] Bagi mereka yang sudah mengenal Tarekat Naqsyabandiyah pembahagiaan jiwa manusia  dalam tujuh tingkat ini tidak asing lagi. Tujuh tingkat yang dimaksudkan itu ialah Oleh karena itu Khalwatiyah menafsirkan maqam yang tujuh buah itu antara lain:
1. Nafsul ammarah ialah maqam zulumatul aghyar artinya kegelapan yang gelap-gulita,
2. Nafsul lawwamah ialah makam anwar artinya cahaya yang bersinar
3. Nafsul mulhamah ialah maqam kamal artinya kesempurnaan
4. Nafsul muthma’inah
5. Nafsul radliyah ialah maqam wisal artinya sampai dan berhubungan
6. Nafsul mardhiyah ialah maqam tajalli af’al artinya kelihatan perbuatan tuhan
7. Nafsul kamilah ialah maqam tajalli sifat artinya tampak nyata segala sifat Tuhan.[4]
Tiap-tiap manusia berada dalam satu maqam, ia tidak dapat melihat keadaan dalam maqam di atasnya, demikian sampai kepada maqam yang ketujuh. Manusia dalam maqam yang ketujuh masih belum dapat mengangkat hijab asma daripada tajalli dzat. Hal ini sesuai dengan pendapat al-junaid : “mungkin seorang manusia dapat merasakan ketujuh maqam, tetapi tidak dapat menyempurnakan maqam pertama”.
Diketahui orang, bahwa pancaran rabbani tidak dapat dibangkitkan dengan asma, tetapi ia adalah nur yang dikaruniai Tuhan bagi siapa ia suka, ditengah-tengah atau sesudahnya. Seorang salik dalam maqam yang pertama, oleh syeikhnya ditalqinkan asma, jika ia terus-menerus melakukan bacaan , amalan, tinggi rendahnya suaranya, sambil duduk atau berdiri, tuhan menyalakan dengan berkah asma itu dalam batinnya, suatu nyala pelita malakut, maka melihatlah ia dengan mata hatinya segala yang buruk disekitarnya, lalu berlari memasuki ikhlas.
Tiap-tiap bertambah dzikirnya, bertambah cepat larinya mencapai keikhlasan itu, dan dengan demikian pada akhirnya ia beroleh yang dinamakan jazbah rahmaniyah, yang dapat membawa dia kepada derajat kamal dan menguatkan jiwanya dalam memikul amanah dan menghadapi tajalliat. Demikian ini dalam Tarekat Khalwatiyah, dinamakan khasiyah ism pertama.
Dalam khasiyah ism kedua salik yang bimbang itu keluar daripada kegelapan ma’siat kepada cahaya ta’at yang terang benderang, sedang dalam khasiyah ism ketiga lahirlah huwiyah muthlaq, hakikat imaniyah, ma’rifat qudaiyah rabbaniyah dalam hati salik yang bimbang itu. Tandanya lalu ia gemar kepada hidup abadi dan melepaskan dirinya daripada kekejian dunia, lalu masuk dalam maqam kamul. Khawas atau khasyiah asma ini tidak dapat lahir melainkan dengan memperbanyak zikir jalli yang kuat dan khafi, dengan adab yang berkekalan. Khasiyah yang keempat dan kelima menyusul dalam keadaan dzikir.
Dzikir itu dilakukan dalam keadaan menghadap kiblat, duduk di atas dua lutut atau berdiri, kosong daraipada segala cita-cita, mendengar apa yang diucapkan, bersih lahir batin, terus-menerus dalam wudhuk, berpegang teguh kepada syari’at dan tarekat, dan meminta kelebihan daripada Tuhan dengan tidak ada henti-hentinya.                                       
Jika semuanya itu dikerjakan salik akan sampai kepada maqam yang keenam, yang mencapai dengan mujahadah dan riadhah. Adapun mencapai khasiyah maqam yang ketujuh memang tidak mungkin dengan usaha, tetapi dengan jadzbah daripada Allah. Maqam ini dinamakan maqam haqqul yaqin, yang dinamakan juga maqam tauhid atau wihdatul wujud, bukan menjadi satu secara tunggal, tetapi sampai kepada onggokan mutiara derajat kamal, syuhud wihdatul wujud, sebagai hasil mujahadah, riadhah yang berturut-turut, dzul iftiqar dan maskanah.
Demikian beberapa catatan tentang tingkat khawas atau khasiyah dan tingkat merabat tujuh jiwa sebagai yang sudah diterangkan dalam suluk Khalwatiyah. Untuk mencapainya dimulai dengan menyesali dosa, membuang aib, berazam tidak akan kembali kepada ma’siat, menyelidiki desas-desus diri, bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Tuhan dengan mahabbah dan ikhlas dalam segala amal sholeh dan berakhlaq dengan pekerti yang luhur.
Had atau definisi tasawwuf pada mereka ialah menyesal terhadap dosanya, tawajjuh dengan ikhlas kepada kerelaan tuhannya, melepaskan jiwa dari pengaruh diri, mencari hak dengan akal dan perasaan, membersihkan diri daripada kekejikan dan berakhlak dengan khuluk sepanjang sunnah Nabi.
Ada sepuluh perkara yang mereka jadikan tiang amalnya, yaitu yaqdhah atau kesadaran, taubah atau minta ampun, muhasabah atau selalu memperhitungkan laba rugi, inabah atau berhasrat kembali kepada tuhan, tafakkur atau selalu menggunakan pikiran, tazakkur selalu menyebut dan mengingat tuhan, I’tisam, selalu berpegang kepada pimpinan Tuhan, firar atau selalu lari dari kejahatan dan keduniaan yang tidak berfaedah, riadhah atau selalu melatih diri dalam amal, dan sima’ atau selalu menggunakan pendengaran dalam mengikuti perintah-perintah agama.
Didalam tarekat ini dibicarakan secara pelik perpindahan dari maqam ke maqam, yang saya tinggalkan pembicaraannya, sesuai dengan bentuk kitab ini sebagai pengantar. Tetapi meskipun demikian saya ingin mengemukakan pendirian tarekat ini mengenai fana, yang dalam golongan fuqaha acap kali menimbulkan salah faham. Mereka membagikan fana atas tiga tingkat, pertama fana fil af’al, dengan arti, bahwa tidak ada yang menciptakan sesuatu kecuali Allah, kedua fana filsafat, yang berarti tidak ada kebenaran sebenar-benarnya dalam hakikat kecuali Allah, dan ketiga fana fidz dzat, yang dimaksudkan bahwa tidak ada yang maujud sebenar-benarnya melainkan dzat Allah sendiri.
Adapun keadaan talqin dalam tarekat ini sama dengan cabang Naqsabandiyah yang lain: syeikh meletakkan tangannya dalam tangan murid, menyuruh mendengar dzikir yang diucapkannya dengan menutup dua mata, kemudian diikutnya perlahan-lahan sesudah istighfar dan do’a, bertahlil tiga kali yang diikuti oleh murid, membaca fatihah dan sebagainya. Dan mengucapkan adzan pada telinga kanan dan telinga kiri.
Sayyid Ali al-wina’i menerangkan martabat asma atau dzikir dalam tujuh tingkat pertama lafadz syahadah sebagai perbandingan untuk ammarah, kedua lafadz Allah, untuk lawwamah, ketiga lafadz huwwafadh untuk mulhamah, keempat Haq untuk muthma’innah, kelima lafadz hayyun untuk radhiyah, keenam lafadz qayyum untuk mardhiyah, dan ketujuh lafadz qahhar untuk nafsul kamilah, yang dinamakannya ghayatut talqin, talqin terakhir untuk murid.[5]
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.
Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk, seperti mencuri, bezina, membunuh, dan lain-lain.
Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya dan menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT, sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa ini selain bersih juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problema hidup maupun guncangan jiwa lainnya.
Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Jiwa ini semakin bersih, tenang dan ridla (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya, karena semua berasal dari pemberian Allah.
Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridlai). Selain jiwa ini semakin bersih, tenang, ridla terhadap semua pemberian Allah juga mendapatkan keridlaan-Nya.
Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup dari pemiliknya.
Ketujuh tingkatan (dzikir) jiwa ini intinya didasarkan kepada ayat al-Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada surat Yusuf ayat 53: “Sesunguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan”. Tingkatan kedua dari surat al-Qiyamah ayat 2: “Dan Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang menegur”. Tingkatan ketiga dari surat as-Syams ayat 7 dan 8: “Demi jiwa dan Yang menyempurnakannya. Allah mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya”. Tingkatan keempat dari surat al-Fajr ayat 27: “Wahai jiwa yang tenang”. Tingkatan kelima dan keenam dari surat al-Fajr ayat 28: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridlaan dan diridlai”.
Sementara untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna, atau yang berada di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa pemiliknya.[6]

D.    KESIMPULAN
Tarekat Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang berkembang di Mesir. Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
Tarekat khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, atau tempat-tempat lain dimana suku itu berada seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.
Nama khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk terhadap Muhammad Nur Al Khalwati Al Khawarizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang masih dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Pengikut kedua cabang tarekat ini secara keseluruhan mencakup 5% dari penduduk provinsi yang berumur diatas 15 tahun, pengikut yang berada di Maros mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut.
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.
Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridlai). Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna).



DAFTAR PUSTAKA
Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo,1996
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2005


[2]Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2005
[3] Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo,1996
[5] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo,1996
[6] Op. cit.

No comments:

Post a Comment