TAREKAT KHALWATIYAH
I.
PENDAHULUAN
Istilah Tarekat berasal dari kata
Ath-thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain pengalaman syari’at,
yang disebut “Al-Jaraa” atau “Al- Amal”. Sehingga tarekat adalah suatu metode atau cara yang
harus ditempuh seorang salik (orang yang menempuh kehidupan sufistik),
dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat membeersihkan diri kepada
Allah swt.
Dalam makalah ini kami akan membahas
mengenai tarekat khalwatiyah. Tarekat khalwatiyah merupakan salah satu dari
berbagai macam tarekat yang ada. Tarekat
Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang berkembang di Mesir. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”,
yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan
seringnya Syekh
Muhammad Al-Khalwati, pendiri
Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Untuk lebih jelaskan mengenai tarekat khalwatiyah kami akan membahas
mengenai asal tarekat khalwatiyah, sejarah perkembangan tarekat khalwatiyah,
dan ajaran dan dzikir dari tarekat khalwatiyah.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
asal mula tarekat khalwatiyah?
B.
Bagaimana
sejarah perkembangan tarekat khalwatiyah di Indonesia?
C.
Bagaimana
ajaran dan dzikir dari tarekat khalwatiyah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Asal mula munculnya ilmu tarekat
Tarekat Khalwatiyah
adalah nama sebuah aliran
tarekat yang berkembang di Mesir. Pada umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri
tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jilani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyabandi. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”,
yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan
seringnya Syekh
Muhammad Al-Khalwati, pendiri
Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang
dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin
Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi
(539-632 H).
Tarekat Khalwatiyah dibawa ke Mesir oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi),
seorang penyair sufi asal Damaskus, Syria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh
Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena
pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri
dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif
menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik.
Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur
Duka).[1]
B.
Sejarah tarekat khalawatiyah di Indonesia
Tarekat khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan
Makassar di Sulawesi Selatan, atau tempat-tempat lain dimana suku itu berada
seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.
Nama khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang
Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk
terhadap Muhammad Nur Al Khalwati Al Khawarizmi (w.751/1350)), yang sampai
sekarang masih dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat
ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf
dan Khalwatiyah Samman. Pengikut kedua cabang tarekat ini secara keseluruhan mencakup
5% dari penduduk provinsi yang berumur diatas 15 tahun, pengikut yang berada di
Maros mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut.
Tarekat Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada nama Syaikh Yusuf Al
Makassari dan Tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah
abad ke-18 Muhammad Al Samman. Kedua cabang tarekat ini muncul sebagai tarekat
yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri sendiri, tidak terdapat banyak
kesamaan selain kesamaan nama. Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan,
organisasi, dan komposisi sosial pengikutnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf dalam
berdzikir mewiridkan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainnya secara
sirr dalam hati, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Samman melakukan dzikir
dan wiridnya dengan suara keras dan ekstatik.
Tarekat Khalwatiyah Samman sangat terpusat, semua gurunya tunduk
kepada pimpinan puat di Maros, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Yusuf tidak
mempunyai pimpinan pusat. Cabang-cabang lokal Tarekat Khalwatiyah Samman sering
kali memiliki tempat ibadah sendiri (musholla, langgar) dan cenderung
mengisolasi diri dari pengikut Tarekat lain, sementara pengikut Khalwatiyah
Yusuf tidak mempunyai tempat ibadah khusus dan bebas bercampur dengan
masyarakat yang tidak menjadi anggota Tarekat.
Anggota Tarekat Khalwatiyah Yusuf banyak berasal dari kalangan
bangsawan Makassar termasuk penguasa kerjaan Gowa terakhir Andi Ijo Sultan
Muhammad Abdul Qadir Aidid (berkuasa 1940-1960). Tarekat Khalwatiyah Samman
lebih merakyat baik dalam hal gaya maupun komposisi sosial, sebagian besar
pengikutnya orang desa.[2]
C.
Ajaran dan dzikir tarekat khalawatiyah
Di
dalam kitab karangan Sa’id ‘Aidrus Al-Habasyi “‘Uqudul la’al fi Asanidir
Rijal” (Kairo, 1961) dari Al-Hafnawi Asy-Syafi’i, begitu pula Ali-Wina’i,
sehingga mereka diberi persalin khirqah dari gurunya. Demikian itu ialah
karena “sir dan suluk dari Syeikh Qasim al-Khalawati” sangat
sederhana dalam pelaksanaanya, untuk membawa tingkat yang rendah
kepada tingkat yang sempurna melalui tujuh gelombang, yang disebut martabat
tujuh dari jiwa itu.[3]
Bagi mereka yang sudah mengenal Tarekat Naqsyabandiyah pembahagiaan jiwa
manusia dalam tujuh tingkat ini tidak asing lagi. Tujuh tingkat yang
dimaksudkan itu ialah Oleh karena itu Khalwatiyah menafsirkan maqam yang tujuh
buah itu antara lain:
1. Nafsul ammarah ialah maqam zulumatul aghyar
artinya kegelapan yang gelap-gulita,
2. Nafsul lawwamah ialah makam anwar artinya cahaya
yang bersinar
3. Nafsul mulhamah ialah maqam kamal artinya kesempurnaan
4. Nafsul muthma’inah
5. Nafsul radliyah ialah maqam wisal artinya sampai
dan berhubungan
6. Nafsul mardhiyah ialah maqam tajalli af’al artinya
kelihatan perbuatan tuhan
7. Nafsul kamilah ialah maqam tajalli sifat artinya
tampak nyata segala sifat Tuhan.[4]
Tiap-tiap
manusia berada dalam satu maqam, ia tidak dapat melihat keadaan dalam maqam di
atasnya, demikian sampai kepada maqam yang ketujuh. Manusia dalam maqam yang
ketujuh masih belum dapat mengangkat hijab asma daripada tajalli dzat.
Hal ini sesuai dengan pendapat al-junaid : “mungkin seorang manusia dapat
merasakan ketujuh maqam, tetapi tidak dapat menyempurnakan maqam pertama”.
Diketahui orang, bahwa pancaran rabbani tidak dapat dibangkitkan
dengan asma, tetapi ia adalah nur yang dikaruniai Tuhan bagi siapa ia
suka, ditengah-tengah atau sesudahnya. Seorang salik dalam maqam yang
pertama, oleh syeikhnya ditalqinkan asma, jika ia terus-menerus melakukan
bacaan , amalan, tinggi rendahnya suaranya, sambil duduk atau berdiri, tuhan
menyalakan dengan berkah asma itu dalam batinnya, suatu nyala pelita malakut,
maka melihatlah ia dengan mata hatinya segala yang buruk disekitarnya, lalu
berlari memasuki ikhlas.
Tiap-tiap bertambah dzikirnya, bertambah cepat larinya mencapai
keikhlasan itu, dan dengan demikian pada akhirnya ia beroleh yang dinamakan jazbah
rahmaniyah, yang dapat membawa dia kepada derajat kamal dan menguatkan
jiwanya dalam memikul amanah dan menghadapi tajalliat. Demikian ini
dalam Tarekat Khalwatiyah, dinamakan khasiyah ism pertama.
Dalam khasiyah ism kedua salik yang bimbang itu keluar
daripada kegelapan ma’siat kepada cahaya ta’at yang terang benderang, sedang
dalam khasiyah ism ketiga lahirlah huwiyah muthlaq, hakikat imaniyah,
ma’rifat qudaiyah rabbaniyah dalam hati salik yang bimbang itu. Tandanya lalu ia
gemar kepada hidup abadi dan melepaskan dirinya daripada kekejian dunia, lalu
masuk dalam maqam kamul. Khawas atau khasyiah asma ini tidak dapat lahir
melainkan dengan memperbanyak zikir jalli yang kuat dan khafi, dengan adab yang
berkekalan. Khasiyah yang keempat dan kelima menyusul dalam keadaan
dzikir.
Dzikir itu dilakukan dalam keadaan menghadap kiblat, duduk di atas
dua lutut atau berdiri, kosong daraipada segala cita-cita, mendengar apa yang
diucapkan, bersih lahir batin, terus-menerus dalam wudhuk, berpegang teguh
kepada syari’at dan tarekat, dan meminta kelebihan daripada Tuhan dengan tidak
ada henti-hentinya.
Jika semuanya itu dikerjakan salik akan sampai kepada maqam yang
keenam, yang mencapai dengan mujahadah dan riadhah. Adapun mencapai
khasiyah maqam yang ketujuh memang tidak mungkin dengan usaha, tetapi
dengan jadzbah daripada Allah. Maqam ini dinamakan maqam haqqul yaqin,
yang dinamakan juga maqam tauhid atau wihdatul wujud, bukan menjadi satu
secara tunggal, tetapi sampai kepada onggokan mutiara derajat kamal, syuhud
wihdatul wujud, sebagai hasil mujahadah, riadhah yang berturut-turut, dzul
iftiqar dan maskanah.
Demikian beberapa catatan tentang tingkat khawas atau khasiyah dan
tingkat merabat tujuh jiwa sebagai yang sudah diterangkan dalam suluk
Khalwatiyah. Untuk mencapainya dimulai dengan menyesali dosa, membuang aib,
berazam tidak akan kembali kepada ma’siat, menyelidiki desas-desus diri,
bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Tuhan dengan mahabbah dan ikhlas
dalam segala amal sholeh dan berakhlaq dengan pekerti yang luhur.
Had atau definisi tasawwuf pada mereka ialah menyesal terhadap
dosanya, tawajjuh dengan ikhlas kepada kerelaan tuhannya, melepaskan jiwa dari
pengaruh diri, mencari hak dengan akal dan perasaan, membersihkan diri daripada
kekejikan dan berakhlak dengan khuluk sepanjang sunnah Nabi.
Ada sepuluh perkara yang mereka jadikan tiang amalnya, yaitu
yaqdhah atau kesadaran, taubah atau minta ampun, muhasabah atau selalu
memperhitungkan laba rugi, inabah atau berhasrat kembali kepada tuhan, tafakkur
atau selalu menggunakan pikiran, tazakkur selalu menyebut dan mengingat tuhan,
I’tisam, selalu berpegang kepada pimpinan Tuhan, firar atau selalu lari dari
kejahatan dan keduniaan yang tidak berfaedah, riadhah atau selalu melatih diri
dalam amal, dan sima’ atau selalu menggunakan pendengaran dalam mengikuti
perintah-perintah agama.
Didalam tarekat ini dibicarakan secara pelik perpindahan dari maqam
ke maqam, yang saya tinggalkan pembicaraannya, sesuai dengan bentuk kitab ini
sebagai pengantar. Tetapi meskipun demikian saya ingin mengemukakan pendirian
tarekat ini mengenai fana, yang dalam golongan fuqaha acap kali menimbulkan
salah faham. Mereka membagikan fana atas tiga tingkat, pertama fana fil af’al,
dengan arti, bahwa tidak ada yang menciptakan sesuatu kecuali Allah, kedua fana
filsafat, yang berarti tidak ada kebenaran sebenar-benarnya dalam hakikat
kecuali Allah, dan ketiga fana fidz dzat, yang dimaksudkan bahwa tidak ada yang
maujud sebenar-benarnya melainkan dzat Allah sendiri.
Adapun keadaan talqin dalam tarekat ini sama dengan cabang
Naqsabandiyah yang lain: syeikh meletakkan tangannya dalam tangan murid,
menyuruh mendengar dzikir yang diucapkannya dengan menutup dua mata, kemudian
diikutnya perlahan-lahan sesudah istighfar dan do’a, bertahlil tiga kali yang
diikuti oleh murid, membaca fatihah dan sebagainya. Dan mengucapkan adzan pada
telinga kanan dan telinga kiri.
Sayyid Ali al-wina’i menerangkan martabat asma atau dzikir dalam
tujuh tingkat pertama lafadz syahadah sebagai perbandingan untuk ammarah, kedua
lafadz Allah, untuk lawwamah, ketiga lafadz huwwafadh untuk mulhamah, keempat
Haq untuk muthma’innah, kelima lafadz hayyun untuk radhiyah, keenam lafadz
qayyum untuk mardhiyah, dan ketujuh lafadz qahhar untuk nafsul kamilah, yang
dinamakannya ghayatut talqin, talqin terakhir untuk murid.[5]
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut
Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan
jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.
Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa
tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut
an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Jiwa ini
dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk
melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk, seperti mencuri, bezina,
membunuh, dan lain-lain.
Kedua, Allah
(Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang
menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh
kebaikan-kebaikan pada pemiliknya dan menegurnya jika ada keinginan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Ketiga, Huwa (Dia).
Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang
terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT,
sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Keempat, Haq (Maha
Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang).
Jiwa ini selain bersih juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problema
hidup maupun guncangan jiwa lainnya.
Kelima, Hay (Maha
Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Jiwa ini
semakin bersih, tenang dan ridla (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya,
karena semua berasal dari pemberian Allah.
Keenam, Qayyum (Maha
Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridlai).
Selain jiwa ini semakin bersih, tenang, ridla terhadap semua pemberian Allah
juga mendapatkan keridlaan-Nya.
Ketujuh, Qahhar (Maha
Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan
inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus
mengalami kesempurnaan selama hidup dari pemiliknya.
Ketujuh tingkatan (dzikir) jiwa ini intinya didasarkan kepada ayat
al-Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada surat Yusuf ayat 53:
“Sesunguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan”. Tingkatan kedua
dari surat al-Qiyamah ayat 2: “Dan Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang
menegur”. Tingkatan ketiga dari surat as-Syams ayat 7 dan 8: “Demi jiwa
dan Yang menyempurnakannya. Allah mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan
ketakwaannya”. Tingkatan keempat dari surat al-Fajr ayat 27:
“Wahai jiwa yang tenang”. Tingkatan kelima dan keenam dari surat
al-Fajr ayat 28: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridlaan dan diridlai”.
Sementara untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna, atau
yang berada di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam al-Qur’an,
karena al-Qur’an seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa
pemiliknya.[6]
D.
KESIMPULAN
Tarekat Khalwatiyah
adalah nama sebuah aliran
tarekat yang berkembang di Mesir. Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang
dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs
Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi
(539-632 H).
Tarekat khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan
Makassar di Sulawesi Selatan, atau tempat-tempat lain dimana suku itu berada
seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.
Nama khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang
Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk
terhadap Muhammad Nur Al Khalwati Al Khawarizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang
masih dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir
bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah
Samman. Pengikut kedua cabang tarekat ini secara keseluruhan mencakup 5% dari
penduduk provinsi yang berumur diatas 15 tahun, pengikut yang berada di Maros
mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut.
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut
Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan
jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut
Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan
jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.
Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa
tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut
an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Kedua,
Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa
yang menegur). Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini
disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Keempat, Haq (Maha
Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Kelima,
Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Keenam,
Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa
yang diridlai). Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga
an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna).
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar Aceh, Pengantar
Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo,1996
http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_khalwatiyah
diunduh tanggal 13/11/12
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di
Indonesia, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2005
http://shariaeconomics.blogspot.com/2010/10/akhlak-tasawuf-tarekat.html diunduh tanggal 15/11/2012
No comments:
Post a Comment